Si Jago Merah yang Mencabik Syahdunya Ramadhan

Dua hari menjelang hari raya. Penjual-penjual makanan mestinya sudah banyak berkurang. Jalanan pun seharusnya jauh dari kata ramai. Biasanya ritual pulang kampunglah yang menjadi penyebab jalanan tepi kota ini sepi dari ragam aktivitas. Meski kemarin kulihat komplek pertokoan di depan sana masih tampak riuh oleh penjual dan pembeli yang saling berinteraksi. Namun kini tak bisa kupastikan apakah akan sama.

Kota Jakarta memang selalu mampu memikat banyak orang untuk mengunjunginya. Dari segala penjuru berlomba-lomba memadati ibu kota. Dengan beragam alasan mereka beramai-ramai menggagahi Jakarta. Begitu pun dengan tepian kota ini. Menjadi daerah tujuan banyak orang membuat Pulogebang dihuni oleh masyarakat dengan latar belakang yang berbeda. Baik dilihat dari sukunya atau agamanya sekali pun. Tapi perbedaan tak cukup memancing perselisihan. Karena masing-masing orang sibuk mencari peruntungan. 

Kisah-kisah yang kerap dialami oleh penghuni kota-kota besar kerap menjadi berita. Seperti cerita-cerita menjelang hari raya. Meski acara mudik selalu ada tiap tahunnya. Namun kita tak pernah bosan menjadikannya sebagai bahan perbincangan. Nah, kali ini ada sedikit cerita yang tak biasa dari tepian kota tempat kami tinggal.

Kisah ini dimulai ketika jam telah menunjukkan tepat pukul lima sore. Saat itu kami telah bersiap-siap memeriksa kondisi kekinian Pulogebang yaitu menilik keramaian yang tersisa. Maka kunyalakan motor tuaku. Setelah memastikan anak-anak duduk aman di belakangku. Mesin beroda dua itu pun kupacu perlahan. Udara kering menerbangkan debu-debu yang terlindas roda-roda kendaraan. Tiap hari kami menjumpai cuaca panas tanpa hujan. Sudah lama air tak turun di tanah kami berpijak. Rumput di taman rumah pun mulai tampak mengering karena kepanasan. Raung kendaraan kian menambah suasana tampak gersang. Namun kini di sepanjang jalan komplek tua ini tak lagi banyak ku temui kendaraan lain yang saling berpapasan. Sepi kendaraan menjadi tanda bila kami nanti tidak akan berjumpa keriuhan. Tapi itu hanya sebuah perkiraan dariku. Di depan sana entah keramaian atau kesunyian yang akan kami jumpai

Tiba ditujuan. Dapat kami lihat apa yang tersisa di komplek ini. Di sudut jalan tak ku dapati lagi Acil penjual aneka kudapan tradisional. Gerainya tertutup oleh plastik dan kayu-kayu yang melintang. Begitu pun Unyil yang berada di seberangnya. Warung favorit kami ini dibalut rapi oleh terpal berwarna biru. Beberapa hari ke depan kami tak dapat menikmati menu masakan ala chinese-nya. Beranjak sedikit ke muka, ada toko Wati yang terhalang papan-papan yang berderet rapat. Tampaknya hingga bulan Syawal nanti kami harus berpuasa makan mie ayam buatan ibu Wati nan nikmat itu. 

Pulogebang benar-benar telah di tinggal pergi. Sepi penjual dan pembeli. Kuputar haluan roda duaku. Toko dengan maskot lebahlah yang menjadi tujuan kami selanjutnya. Di depan toko tersebut biasanya berbaris aneka penjual makanan. Tapi tak kulihat itu. Hanya tersisa beberapa pilihan. Ayam goreng bertepung salah satunya. Kuputuskan untuk membelinya. Dan satu kantong plastik telah tergantung cantik di motorku. Tapi kami masih memerlukan sedikit kudapan untuk kami pasangkan dengan secangkir teh manis hangat. Maka perjalanan kami lanjutkan. Menyusuri jalanan berlubang sembari melirik ke kanan dan ke kiri.

Hari semakin petang. Kantong belanjaan kami belum juga bertambah. Karena tak ada lagi yang bisa dibeli. Kami pun memutuskan untuk singgah ke rumah eyang di komplek seberang. Motor masih kupacu perlahan. Jalan Raya Pulogebang pun tampak lengang dari kendaraan. Tak ada niatku untuk mempercepat lajunya. Namun dari kejauhan kulihat asap hitam yang membubung tinggi ke angkasa. Hatiku sedikit kecut melihat asal asap hitam tersebut. Arahnya dari komplek eyangnya anak-anak. Hatiku mulai merasa tak enak. Dadaku berdegup tak beraturan. Dari bibirku tak henti-hentinya memohon ampunan dari Allah. Astaghfirullah Astaghfirullah Astaghfirullah. Berulang kali kuucapkan itu tapi belum juga mampu meredakan rasa cemasku. Hatiku semakin gundah ketika kulihat betapa ramainya kendaraan di pintu masuk komplek. Kini asap hitam itu semakin jelas. "Dari rumah Opik bu," seru putri sulungku.

Tak kugubris perkataan putriku. Hatiku kian berdebar. Bibirku kian kerap mengucapkan Astaghfirullah Astaghfirullah Astaghfirullah. Tak sanggup aku membayangkan apa yang akan kutemui nanti. Sekilas mataku menangkap di pintu masuk komplek ada beberapa orang mengatur lalu lintas agar tak tersendat di satu titik. Tapi tak paham betul aku siapakah mereka. Pikiranku hanya tertuju kepada eyangnya anak-anak.

Segera kuarahkan kemudi motorku memasuki komplek perumahan pertamina. Kusibak kerumunan orang-orang yang menghalangi langkahku. Kini aku bisa melihat dari mana asap hitam itu berasal. Aku sedikit lega ktika melihat ternyata bukan rumah eyangnya anak-anak yang dilahap sijago merah. Tapi hatiku pun menangis begitu mengetahui bencana ini menimpa orang yang kami kenal. Sedih. Isak terdengar dari mereka yang melihat. Kulihat si pemilik rumah yang hanya diam sembari menatap rumah yang dibangunnya bertahun-tahun lalu dilumat rakus oleh api. Api dicurigai berasal dari hubungan arus pendek yang terjadi di kamar lantai atas.

Menjelang hari raya musibah datang tak diduga. Kami sekeluarga turut berduka. Semoga pak Sarjito dan keluarga diberi kekuatan dalam menghadapi cobaan ini. Amin.

Sedikit cerita pilu dari Pulogebang kali ini. [*]

Related Posts

5 comments

  1. Innalillahi wa innailaihi rojiuun, semoga diberi kekuatan dan ganti yang lebih baik ya maak

    ReplyDelete
  2. Semoga mereka di beri kekuatan dan mampu melewati cobaan yang tak di sangka-sangka datangnya.

    ReplyDelete
  3. musibah memang bisa datang kapan saja..semoga keluarga yang tertimpa bisa tetap tabah dan segera mendapat gantinya dari Yang Kuasa

    ReplyDelete

Powered by Blogger.