House For Sale


Beberapa waktu yang lalu saya membaca sebuah kisah singkat karya A.S. Laksana. Karyanya dimuat di salah satu surat kabar harian nasional yang terbit dari Surabaya. Dengan tajuk Dijual : Rumah Dua Lantai Beserta Kenangan di Dalamnya, bercerita tentang sepasang suami isteri yang sedang berada di ambang batas perceraian. Masalah-masalah yang sekiranya dianggap sepele oleh salah satu dari pasangan di dalam cerita ternyata bagi yang lain itu menjadi timbunan-timbunan konflik berkepanjangan. Dan pada akhirnya memaksa keduanya untuk segera mengambil keputusan yang tidak mudah. Mungkin seperti itulah yang bisa saya tangkap dari cerita pendek karya saudara A.S Laksana.

Tapi tulisan ini tidak ingin membahas tentang cerpen A.S. Lakasana. Membaca cerpen ini seketika mengusik memori saya yang sudah lama terpendam. Ini menyangkut judul lagu yang diangkat oleh cerpenis. Membawa benak saya pada sebuah rumah yang entah seperti apa kini wujudnya. Rumah dalam kenangan saya tidak sama dengan rumah yang ada di cerita pendek saudara A.S. Laksana dan tidak serupa seperti yang dikisahkan dalam lagu yang mewarnai cerita. Kesamaan hanya terletak pada lagu yang digunakan sebagai latar dari cerita, House For Sale. 

Rumah masa kanak-kanak saya tidak berlantai dua namun jelas lebih besar dan lebih luas. Rumah yang selalu menjadi impian saya untuk kembali memilikinya itu terbagi menjadi beberapa bagian. Bagian pertama adalah bangunan lama merupakan cikal bakal dari tempat tinggal kami, meskipun saya tidak pernah sanggup mengingat bila kami pernah menempatinya. Mungkin karena ketika saya lahir bangunan lama itu sudah tidak digunakan sebagai tempat tinggal. Di dalamnya hanya terdapat satu kamar yang masih berfungsi sebagaimana mestinya yaitu digunakan sebagai tempat bapak kami mengistirahatkan tubuhnya dari penat. Kemudian sisa ruangan pada bangunan lama dijadikan gudang penyimpanan barang dagangan, seperti minyak tanah, minyak makan, beras, dan masih banyak lagi. Semuanya dalam jumlah yang tidak sedikit. Bisa dikatakan pada masa itu toko kami merupakan salah satu yang terbesar dan terlengkap di kampung tempat saya dibesarkan. 

Pada bagian kedua dari rumah masa kecil saya adalah sebuah toko termodern yang pernah ada semenjak saya dilahirkan hingga sampai pada waktu yang memaksa kami untuk mengangkut semua kenangan tentangnya. Lalu bagian ketiga dari rumah tersebut adalah rumah keluarga atau bisa disebut sebagai tempat tinggal utama kami. Di situlah tempat kami bermain, bertengkar, bercengkrama, dan bermimpi. Dan bagian lain yang tak kalah penting adalah dapur. Di sinilah kami semua melepaskan dahaga dan menghilangkan rasa lapar. Bila bulan Ramadhan tiba, maka santap menyantap akan dipindahkan ke ruangan yang menghubungkan rumah utama dan toko. Di situ akan digelar beberapa tikar. Makanan disajikan dalam porsi yang jauh lebih banyak. Karena pada bulan puasa tidak hanya keluarga inti yang akan menikmati kelezatan masakan nenek. Para pegawai pun akan ikut ambil bagian. Berbagai celoteh akan terdengar dari banyak sudut. Begitu ramai, begitu riuh. Suasana ramadhan yang sudah lama tidak saya rasakan.

Mengingat bagian per bagian rumah dalam kenangan membawa sebagian diri saya kembali menjelajahi waktu yang tidak sebentar. Dua puluh tahun sudah saya tidak menjejakkan kaki di tanah kelahiran. Dua puluh tahun lebih saya tidak mengetahui rupa rumah dalam kenangan. Setelah sekian lama bersemayam di relung hati paling dalam tanpa ada satu pun tangan yang bisa menyentuhnya. Kini saya menuangkannya dalam sebuah tulisan dan menjadikannya sebagai konsumsi umum. Tidak tanpa tujuan saya lakukan itu. Saya berharap tulisan ini bisa memberi sedikit inspirasi bagi yang membacanya. 

Dan tentang House For Sale, inilah lagu yang dulu sering saya dengar diakhir-akhir kami menempati rumah dalam kenangan. Salah seorang kakak saya sangat suka mendendangkannya. Sekali-kali isak tangis akan terdengar diantara syair-syair yang dinyanyikannya. Dan ketika lagu ini diperdengarkan dari sebuah radio kaset pun, suasana hati akan berubah menjadi sendu. Ruangan akan ikut menangis. Waktu pun ikut menjerit. Begitulah kehidupan. Terkadang akhir dari sebuah kisah tidak sesuai dengan keinginan. Mungkin pada awalnya akan terasa berat melaluinya. Namun kita memang dipaksa untuk bisa menerimanya. Tidak jarang dari situlah kita belajar. 

Bila dulu saya hanya bisa merasakan nada-nada kesenduan dari lagu yang dimainkan oleh band rock asal negeri Belanda tanpa mengerti tentang apa itu. Maka kini nada-nada melankolis tersebut tidak hanya menghantarkan saya pada kisah sedih masa silam, tapi memberi saya ruang untuk menggali lebih dalam nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Inilah yang saya maksud jangan memaksakan melupakan sesuatu bila dikemudian kita mendapat hikmahnya. Betul gak?


Related Posts

No comments:

Post a Comment

Powered by Blogger.