Duka di Hari Minggu 1

Langit telah merajuk sebelum kabar duka sempat mengetuk pintu rumah kami. Awal hari yang murung dan kelabu. Tak ada tanda yang kami sadari bila Minggu (08/03) yang lalu kepiluan akan kami terima pada permulaan hari. Lirih sedu menyapa. Menghantam hening yang bergeming. Titik-titik air pun luruh. Dan nestapa hadir membayangi hari.

Tidak memerlukan waktu yang cukup lama untuk membenahi diri. Mandi, sarapan, dan berpakaian ala kadarnya. Sudah cukup bagi kami. Karena kali ini bukan jalan-jalan yang menyenangkan hati tujuan kami. Tetapi ke rumah duka yang berlokasi di Kelapa Gading, Utaranya Jakarta. Setelah masing-masing dari kami siap, kamipun bergegas menembus dingin yang pilu.

Kendaraan yang kami tumpangi melaju sedu. Kupandangi cakrawala dari balik kaca pintu mobil, hanya putih yang tampak. Duka tengah bergelayut manja di angkasa. Jalanan pun turut bersedih. Pepohonan melambai pilu. Di dalam mobil, suara-suara kami berkisah tentang beliau yang telah pergi. Tentang penyakit yang terus membayangi. Tentang kemoterapi yang diikuti. Tentang jalan-jalan yang sempat beliau lakukan. Berpegian mengelilingi bumi. Melihat keindahan dunia dari kacamata bermacam negara. Mulai dari negara tetangga, seperti Singapur. Hingga ke negara yang paling romantis, seperti Perancis. Semua adalah upaya agar hidup menjadi bahagia. Agar hidup lebih berwarna. Agar hidup memiliki arti. Agar hidup bertahan lama. Agar ketika hidup meninggalkan, ada kisah yang dapat diceritakan. Meski untuk kembali mengenang kebersamaan itu pun tidak mudah. Sesak akan terasa bila diri tersadar ada bagian yang telah hilang. Dan tidak akan pernah kembali. Tapi bukankah memang seperti itulah hidup. Tidak ada yang abadi. Selalu ada yang pergi. Dan selalu ada yang ditinggal pergi.

Perjalanan kami kali ini terasa sepi dan sunyi. Riuh sempat terdengar ketika di tepi jalan kami melihat sebuah mobil menabrak trotoar. Sebagian bodinya terperosok ke dalam got. Kemungkinan karena supir dalam pengaruh alkohol. Begitulah benak kami memperkirakan sebab musabab kecelakaan . Kejadian di tepi jalan itu menambah panjang catatan kelam berlalu lintas di negeriku ini. Di jalanan terlampau sering kami pertaruhkan nyawa pada mereka yang mengemudikan kendaraan hanya mengandalkan dengkul. Otak? Entah mereka letakkan di mana isi tempurung kepala itu.

Rintik-rintik gerimis belum juga usai. Tak lama lagi kami tiba di rumah duka. Kelapa gading sepi dan lengang. Cuaca menjadi semakin muram. Kesenduan sudah tampak dari kejauhan. Mobil-mobil berderet, berjejer di sepanjang jalan menuju rumah duka. Tenda belum terpasang ketika kami sampai ditujuan. Payung-payung hitam menyambut kedatangan kami. Kulangkahkan kakiku menembus pilu. Di muka rumah tampak beberapa sanak keluarga telah tiba lebih dulu. Wajah-wajah sendu. Berjabat tangan lalu kembali melangkah. Menyibak kabut kesenduan yang kian pekat.

Dari muka rumah tampak almarhum telah dibaringkan di sebuah ranjang. Seorang wanita paruh baya duduk di sampingnya. Tubuhnya dibalut pakaian berwarna gelap, wajahnya berselimut kesedihan, matanya sembab, hidungnya merona merah. Meskipun begitu kecantikan masih dapat dijumpai di balik rupanya yang sendu. Aku memanggil perempuan nan ayu itu dengan sebutan - tante Umi.

Melihat kedatangan kami, tante Umi segera berdiri lalu menyambut ibu mertuaku yang telah mendekat lebih dulu. Kemudian kedua perempuan itu pun berpelukan. Dan tangis seketika pecah. Aku bergeming dalam diam. Menatap tubuh-tubuh di depanku yang berguncang karena terisak-isak. Sabarlah. Tegarlah. Menangislah. Tumpahkan semua dukamu. Kami ada di sini siap memberi kekuatan dan ketegaran yang kau perlukan. Ku alihkan perhatianku kepada mereka yang ada di ruangan. Paras-paras sendu. Tangis-tangis yang tertahan. Mata-mata yang juga sembab. Dan lantunan ayat-ayat suci Al'quran yang terdengar lirih. Di rumah ini kami sedang berkabung.

Menjelang siang tenda baru dipasang. Tamu-tamu terus berdatangan. Aku dan anak-anak disarankan pulang lebih awal karena pengajian akan dilangsungkan pada malam hari. Anak-anak mulai lelah dan sedikit rewel. Aku pun setuju. Aku dan anak-anak meminta diri berpamitan. Meninggalkan suami dan ibu mertuaku lalu pulang dengan menumpang mobil kakak ipar. Kepiluan masih terasa kental ketika kuangkat kaki dari rumah duka. Tetapi mereka yang datang selalu siap memberi dukungan. Kekeluargaan lebih terasa ketika musibah datang. Kehilangan pun sedikit tersamarkan. Doa-doa terus bergulir. Kalam-kalam Ilahi lirih terdengar.  

Gerimis telah usai ketika kendaraan yang kami tumpangi membelah sunyi. Kulalui jalan yang sama seperti ketika kami pergi tadi. Mobil yang terperosok belum juga diderek. Sendu masih saja membayangi bumi. Duka kami, pilunya langit. Mungkin bisa dikatakan seperti itu. Karena sepanjang hari alam bagai diliputi kesenduan yang tak berkesudahan. Seolah ingin menunjukkan bahwa semesta pun turut berduka terhadap kehilangan yang kami rasakan.

Selamat jalan om Arno. Beristirahatlah dengan damai om. Doa kami menyertai.

"Inna lillahi wa inna ilahi raji'un. Allahumma 'indaka ahtasibu musibati fa ajirni fiha wa abdilni minha khaira"


Almarhum om Arno (credit)







Related Posts

5 comments

  1. Pantes beberapa hari ini jarang ngeposting. Turut berduka mbak, semoga amal ibadah beliau diterima oleh Allah. Mbaknya tetep semangat....

    ReplyDelete
    Replies
    1. amin.. makasih doanya ya.. semangat itu yang terus diupayakan agar tetap ada..tapi makasih mengingatkan:)

      Delete
  2. Innalillahi wa inna ilaihi rajiun.. Semoga amal ibadah beliau diterima Allah SWT dan diampunkan segala dosanya ya, Mbak.. Aamiiiin..

    ReplyDelete
    Replies
    1. amin .. makasih ya ..

      Delete
    2. This comment has been removed by the author.

      Delete

Powered by Blogger.