BANGUN
PAGI. YA, MEREKA SUDAH BANGUN SEMUA. KULIRIK ANAK ITU, DENGAN CEPAT IA
PURA-PURA TIDUR. MALAS BERANGKAT SEKOLAH. PLAY GROUP - APAKAH ITU SEKOLAH?
Lantas perempuan itu, melamun saja dia menatap
langit-langit.
Hmm. Masih mau mimpi? Takut
kenyataan sehari-hari?
Aku memejamkan mata kembali, siapa tahu bisa tidur lagi
sebentar, sebelum kembali nyemplung dalam kehidupan yang tidak selalu
menyenangkan.
Anak itu bangkit berdiri, ia melangkahi kaki-kaki kami
dan terus berjalan. Dengan kasur terletak di lantai, ia memang tidak mungkin
menggelinding jatuh. Ia menuju ke arah tumpukan kaset, mengobrak-ngabrik
sebentar, kemudian menyetelnya pada tape recorder di atas meja belajar. Lagu
itu lagi, lagu teater boneka yang sedang berjaya di televisi. Tidak bisakah
hari minggu saja telinga kita mendengar lagu itu, dengan jaminan aku tak perlu
menontonnya?
Jadi
kuambil bantal dan kututup telingaku. Suara itu memang agak teredam sedikit.
Tapi tunggu dulu, apa ini yang menggoyang-goyangkan badanku?
"Bangun! Aku mesti audisi!"
Nah. Itu dia.
Kaki perempuan itu mendorong-dorong. Boleh juga. Tapi
sebentar lagi dong. Lima menit saja. Biarkan aku terlelap sebentar. Lima menit
saja.
"Lho! Ayo!"
Gorden jendela disibak. Cahaya matahari yang garang masuk
menerjang. Sunguh-sungguh mengganggu ketentraman.
Oke. Sudahlah. Aku melompat bangun.
"Mau ke mana? Beresin dulu tempat tidurnya!"
Aduh. Lantas anak itu pun mengeraskan volume pula.
Sabar. Sabar.
Sarapan mungkin lebih enak. Apa itu lebih enak? Tentu
saja pertengkaran mereka. Antara siapa harus makan apa siapa ingin makan apa.
Semuanya ada di meja. Roti tawar, mentega low-fat, muisjes, selai lobi-lobi, blueberry, smoked beef, susu coklat, susu skim, telor setengah
matang, madu, olive oil, vitamin, dan kopi Sidikalang gilingan terkasar.
Aku diam, tenang-tenang sambil makan, mencari
keselamatan.
Namun anak itu tidak mau mandi dan tidak mau berangkat,
katanya ibu guru suka memukul. Hmm. Ketenangan sudah menjadi barang mewah.
Aku ke depan mengambil koran. Perang dunia III belum
meletus, Irak-Iran? Tentu, tentu, belum pernah tak ada perang. Kriminalitas?
Mayat dipotong-potong. Dalam negeri? Kampanye pemilu penuh bualan. Bagaimana
kalau jadi golput?
"Ayo cepat!" Pintu WC digedor. Kontemplasi
buyar.
Urusan anak sudah beres, tetapi "Aku sudah hampir
telat nih!"
Dan pagi itu kukebut motorku di jalanan Jakarta yang
sibuk. Sepanjang jalan motorku meraung-raung minta diberi jalan, lincah
menyelip-nyelip di sela lautan mobil yang macet. Aku tancap gas menembus
kepekatan asap knalpot.
"Jangan cepat-cepat!"
"Katanya hampir telat!"
"Aku takut!"
Nah!
***
Subuh itu aku lari pagi menyusuri jalanan yang masih
sepi. Hanya suara sepatu yang mencercah keheningan. Jakarta lelap dalam buaian
kabut polusi. Sisa lampu malam masih menyala, orang-orang berpulangan dari
perkumpulan malam.
Aku berlari, tetapi diriku melesat keluar dari tubuhku.
Kulihat diriku masih berlari-lari. Lewat di atas jembatan, belok di tikungan,
menyeberang lapangan dan lari terus sepanjang jalan raya.
Dari langit aku melihat semuanya, tembus ke balik dinding
tripleks maupun tembok. Pasar bangkit. Angin menderu-deru. Langit tak kunjung
terang. Paimo mendengkur. Siti bermimpi. Sukab mengigau mencari-cari istrinya.
"Bune! Bune! Di mana kamu Bune!"
Ali Said masih mencetak foto. Sarinah masak air. Gowok,
nama seekor anjing, menjilat-jilat lantai yang baru saja ketumpahan gule
kambing. Ngadimin menguap sambil memeluk Paikem.
Siaran radio Elshinta mulai hot. Lagu-lagu disko menggebrak.
Udara menari-nari. Angin keliling Jakarta. Benny masih di ruang editing. Icang
mengangguk-angguk bersama walkman barunya. Asep merapatkan sarung.
Aku masih berlari-lari.
Abah, boss warung kopi Kalipasir, ngopi sendiri. Ada
orang memompa ban. Ada orang memotong sayur. Ada orang menuang minyak. Ada
orang menghitung uang. Ada orang mencipta lagu. Ada orang mengetik. Ada orang
menimba air. Ada orang main cinta. Ada orang naik sepeda. Ada orang mancing.
Ada orang berjongkok di dalam jamban di atas kolam, sementara ikan-ikan
berenang di bawahnya...
Ada orang mendaki gunung sendiri. Ada orang mengedipkan
mata. Ada orang menyusui anak. Ada orang...huh! Bayangkan saja sendiri. Aku
masih lari-lari, hampir sampai rumah.
Dari jauh kulihat perempuan itu baru pulang. Ia keluar
dari dalam mobil yang menurunkannya. Melangkah masuk rumah dengan rok mini dan
stocking bergambar kupu-kupu.
"Capek..."
Katanya sambil melepas sepatu tinggi.
***
Biasanya dia pulang pukul 03.00 pagi dari "Midnight
Sea". Bau malam dan pengap asap rokok masih tersisa di rambutnya. Dia
membawa lima bungkus rokok, sebungkus pizza, daging steak yang dibungkus kertas
aluminium, dan sebotol Martini.
Sebelum ia tidur kami biasa ngobrol dulu tentang
pengalamannya malam itu. Mulai dari tamu yang suka pegang-pegang sampai pemain
band yang jatuh cinta kepadanya, atau penyanyi lain yang dihamili boss sampai
pemabuk langganan yang sudah sebelas tahun nongkrong di situ.
Banyak juga ceritanya, aku senang juga mendengar,
kadang-kadang sedih, kadang-kadang lucu. Kadang-kadang anak itu terbangun
mendengar kami tertawa terlalu keras, lantas dengan langkahnya yang seperti
orang mabuk karena masih ngantuk, ia minum susu yang ada di meja, terus balik
lagi menjatuhkan diri ke pangkuan perempuan itu. Kemudian dia akan tidur sambil
mendekap bocah itu.
Kalau sudah tidak mengantuk aku tidak ikut tidur.
Kadang-kadang aku berkhayal seandainya bisa menuliskan cerita-ceritanya. Siapa
tahu ada yang mau membelinya sebagai cerita film. Namun ternyata aku sama
sekali tidak mampu menulis. Aku hanya bisa membual, makanya aku mau mencoba
peruntunganku sebagai tukang obat di kaki lima.
Hidup memang jalan terus. Kita tergagap melakukan apa
saja supaya bisa hidup. Penganggur pun harus tetap hidup.
Di luar, pagi terkapar kembali diperkosa Jakarta.
"Selamat pagi penganggur," katamu.
"Selamat pagi" jawabku santai.(*)
Sebuah karya dari Seno Gumira Ajidarma. Yang dikutip
dari Senja dan Cinta yang Berdarah sebagai Antologi Cerita Pendek Seno Gumira
Ajidarma di Harian Kompas 1978-2013.
Cerpen di atas dituliskan kembali karena bulan dan
tahun yang tertera pada buku (hal 90), kebetulan bertepatan dengan bulan dan
tahun kelahiran saya. Sebuah kebetulan ini saya anggap sebagai kado yang tidak
disangka-sangka dari seorang Seno. (haha…ini benar-benar ngawur dan ngasal).
Cerpen ini saya jadikan sebagai spirit untuk sebuah konsistensi terhadap sebuah perkerjaan. Saya
jadikan sebagai salah satu panutan saya dari sekian banyak panutan dalam bidang
kepenulisan. SGA, Saya melihatnya sebagai seseorang yang tidak pernah mati dengan
kibul-kibulnya hingga waktu pun lelah dan kebosanan lalu menyerah. Dan yang
tersisa adalah sebuah eksistensi dari pikiran-pikiran yang terus melahirkan
ide-ide cemerlang.
Cerpen ini saya tuliskan kembali, berharap saya bisa
sedikit belajar dari seorang SGA. Semoga. J
Ini bingung mau komen apaan -_-
ReplyDeleteTapi jujur postingan ini udah tak baca 2 kali haha
sampe dibaca dua kali?...entah itu karena apa.. tapi aku seneng meskipun kamu bingung ingin berkata apa :))
Deleteizin membaca aja ahh hehe
ReplyDeletesilakan dinikmati....dan semoga memang bisa dinikmati :)
Deleteamin mba,, pasti bisa koq menulis karya cemerlang seperti seorang Seno Gumira Ajidarma :)
ReplyDeletewaduh makasih banget doanya mbak Iin.. diaminin dech.. amin ya Allah :)
DeleteAku jarang baca cerpen mbak, gak begitu doyan, hihi.. Makanan kali ah..
ReplyDeletegpp mbak arifah.. minat masing2 org kan beda :)
Delete