Di Sebuah Petang

"Ibu ini mirip bener sama bapak. Sukanya godain anak-anaknya. Pantes aja bapak sama ibu jadi suami isteri." seru anakku di suatu petang dalam perjalanan menuju pulang.

"Itu namanya ibu sama bapak berjodoh Ro." timpal suamiku dari balik kemudi.

Petang itu jalanan Jakarta lengang. Obrolan ringan antara si sulung dan bapaknya membuatku gatal untuk turut angkat bicara. Kulirik suamiku. Tampaknya tidak ada lagi yang akan ditambahkan oleh lelaki itu. Ah, benarkah sifat kami mirip? Apa iya karena itu lalu kami berjodoh? Ah, suamiku terlampau sibuk dengan kemudinya. Baiklah kucoba menyuarakan apa yang kupikirkan.

"Hm, emang sifat ibu dan bapak sama ya Ro?" tanyaku memastikan.

"Iya bu. Makanya sama eyang ti, ibu dan bapak dibilang jodoh."

Hihi... Anak zaman sekarang. Tubuh mereka saja yang tampak mungil. Namun cara pikir mereka jauh melampaui usianya. Apakah pemikiran anak-anak kini memang dituntut lebih maju tinimbang generasi pendahulunya. Dulu, mana ada tuch maknya ini kepikiran semacam itu. Adanya main lompat karet, main kelereng, gobak selodor, atau main petak umpet.

"Gini loh Ro." segera kubenahi posisi dudukku, pandangan kuarahkan ke bola hitam yang memandangku penuh semangat. Anakku sangat mengenal gelagat-gelagat ibunya bila ingin menyampaikan pesan-pesan yang cukup panjang. Bila sudah seperti ini tidak ada celah yang bisa menyelamatkannya dari gempuran kata. Pengalihan biasanya akan berbuntut dengan sedikit omelan. hihi. Bagaimana pikiran anak tidak matang bila macam begini maknya. 

"Hm, terkadang bila kita mencintai, menyayangi seseorang secara tidak sadar kita kerap meniru apa pun yang diperbuat oleh dia. Alam bawah sadar kita yang melakukannya. Tanpa kita ketahui sifat dan tingkah laku kita telah menyerupainya. Kalau yang kita tiru adalah baik tentu tidak akan jadi masalah. Tapi bila itu sesuatu yang buruk, itu yang gawat." Kuhentikan sejenak pembicaraan kami. Kembali kulirik suami yang tidak memberi komentar. Hanya senyum simpulnya yang terlihat. Kukembalikan arah pandangku ke putri kecilku yang menanti dengan sabar akhir dari percakapan kami.

"Jadi gitu juga kalau kita benar-benar cinta sama tuhan. sama Allah, sayang sama nabi Muhammad SAW. Tanpa disuruh, tanpa diperintah, hati kita, pikiran kita selalu tertuju pada Nya." Ah, apakah bahasan kali ini terlalu berat untuk anakku.

"Hm, sama seperti Roro. Roro suka meniru apa yang ibu dan bapak lakuin kan. Seperti ngupil yang dijadiin hobi, kentut yang suka lewat tanpa permisi, atau sendawa yang memang sengaja dikeraskan." Sampai di sini gelak tawa putriku segera terdengar. Dan kalimat-kalimat yang sudah kuperkirakan pun keluar dari mulutnya. 

"Berarti itu tandanya Roro sayang ibu dan bapakkan bu?" tanyanya penuh kemenangan.

"Ibu dan bapak tahu kok kalau Roro sayang sama ibu dan bapak. Tapi cara yang sepert tadi tidak tepat. Biasanya Ro, cinta akan mengubah orang menjadi lebih baik. Jadi ..... ." 

"Iya bu, Roro udah ngerti." Ya elah, belum selesai maknya ngomong udah main potong.

Pembicaraan tampaknya memang harus dihentikan. Kubuang pandanganku ke luar jendela mobil. Kutatap petang yang segera menghilang. Kali ini Jakarta sungguh terasa lengang. Membawa pikiranku melayang jauh ke belakang. Ke sebuah ruang yang berisi cinta , rindu dan pengkhianatan. [*]


Related Posts

No comments:

Post a Comment

Powered by Blogger.