Potret Anak-Anak Jalanan dalam Kisah Daun di Atas Bantal

sumber gb : https://id.wikipedia.org/wiki/Daun_di_Atas_Bantal

Sebuah hari di sebuah masa dan di sebuah kota penuh kenangan.

Saat itu usiaku masih belia, 17 tahun pun belum genap. Hidupku penuh warna. Semua tampak baik-baik saja. Kehidupanku baik-baik saja. Lingkungan tempat tinggalku baik-baik saja. Pergaulanku baik-baik saja. Dari mana pun kumelihat kondisi kami saat itu, semua tampak baik-baik saja.

Memang, aku terpisah jauh dari kedua orang tua. Namun itu pun untuk tujuan mulia. Menuntut ilmu di tanah Jawa. Ya, bersama dua orang kakak perempuanku kami dikirim ke Jawa agar nanti ketika kami dewasa menjadi orang yang berguna.

Belajar adalah tugas utama. Hari-hariku tak lepas dari perjalanan rumah dan sekolah. Hingga tibalah di sebuah malam, Ketika otak penat dengan rutinitas sebagai seorang pelajar. Menonton film di bioskop menjadi cara kami menghibur diri dari kejenuhan.

Saat itu bioskop cukup ramai. "Daun di Atas Bantal," film ini yang akan kami tonton. Judulnya puitis seolah mampu berbicara bila yang akan kami tonton nanti bukan film biasa. Bukan film abal-abal yang hanya menonjolkan dada, paha dan betis. Kuyakin film yang akan kutonton ini pasti berkualias.

Kualitas sebuah film menunjukkan seperti apa isi otak penontonnya. Itu menurutku. Judul yang disandingkan kuanggap mampu menggambarkan tingkat intelektualitas penontonnya. "Daun di Atas Bantal," memikat mereka yang mengedepankan otak ketimbang dengkul. Ini pun masih menurutku.

Awalnya, kukira cerita pada film ini sejenis tearjerker karena diksi pada judullah yang membuatku berpikir seperti itu. Tapi, setelah kulumat habis adegan per adegan, kenyataan yang selama ini mengurungku dengan segala hal yang tampak baik-baik saja kini tertampar oleh realitas yang diusung oleh Garin Nugroho sang sutradara.

Selama ini aku meyakinkan diriku bahwa tanah rantau yang kupijak adalah kota nan berhati nyaman. Keramahan yang ditawarkan tidak hanya melalui sapaan santun tukang-tukang becak atau pun senyum ramah mbok-mbok penjual pasar Beringharjo. Namun hampir tiap sudut kota ini seolah membentangkan tangannya menerima hangat setiap pendatang sepertiku.

Hingga rasa nyamanku memudar. Kehidupan remajaku yang tadinya baik-baik saja berubah menjadi sebuah kegelisahan. Dengan apiknya Daun di Atas Bantal memperlihatkan sisi yang sebelumnya tak tampak jelas menjadi terang benderang. Tak pernah terpikirkan olehku bila di jalanan tersimpan kisah-kisah kelam kehidupan. Bukan berarti di jalanan aku tidak pernah menjumpai tampang-tampang kusam juga keras. Bukan, Karena ketika kakiku menapaki lorong-lorong malioboro mataku kerap menangkap paras-paras seperti yang diperankan oleh Heru, Kancil dan Sugeng. Bukan pula aku menyangsikan kehadiran anak-anak jalanan di negeri ini. Bukan. Karena mereka memang ada, di sudut-sudut jalan mereka gantungkan hidup, di gelapnya malam mereka coba bermimpi, di terangnya siang kembali mereka dihantam oleh kerasnya realitas.

Lingkunganku tidak baik-baik saja. Aku tidak baik-baik saja. Heru, Kancil dan Sugeng memperlihatkan padaku dunia asing yang jauh dari bayangan-bayangan indah masa remaja. Betapa nyawa begitu mudahnya melayang. Mulai dari Kancil yang tewas tanpa mayatnya diketemukan. Tubuh kumalnya hilang begitu saja ketika kereta memasuki sebuah lorong yang membuat nyawanya melayang tak berbekas. Atau lihat saja apa yang terjadi dengan Heru. Mafia-mafia asuransi membunuhnya demi nilai klaim kematian yang akan didapat. Tak memiliki identitas yang jelas akan dimanfaatkan oleh bajingan-bajingan tak berperasaan. Jiwa remajaku sangat terpukul ketika menyadari betapa pengaruh uang mampu mengubah seseorang menjadi bangsat.

Hidup Kancil dan Heru berakhir dengan tragis. Tidak berbeda jauh dengan yang dihadapi oleh Sugeng. Kematian menjemput melalui tusukan belati preman yang salah sasaran. Derita Sugeng tak habis meski nyawa telah lepas. Kembali identitas tak jelas yang menjadi masalah. Jati diri tak diketahui dan keberadaan yang tak terdaftar membuat jenazah Sugeng tak berhak dikuburkan di mana pun juga. Tragis!! 

Lain pula yang dihadapi oleh ibu asuh ketiganya, Asih. Suami Asih kerap sibuk bermain judi, pemarah, semaunya sendiri. Asih memang tidak becus mengurus ketiga anak asuhnya. Meski begitu nasi dan lauk seadanya selalu tersedia untuk mereka. Kerjanya sebagai penjual batik kreditan kerap dijadikan sebagai sumber penghasilan oleh suaminya. Jika duit tak didapat, umpatan pun akan diterimanya.

Hidup seakan tak pernah menyambut hangat keberadaan mereka yang tinggal di pinggiran kota gudeg ini. Tidak ada kesenangan yang kulihat dari masing-masing peran. Kelembutan wanita pun nyaris pupus dihantam kerasnya hidup. Dan kematian ketiga anak asuh Asih menyisakan sebuah kesepian yang tak berujung pada wanita itu. Kegelapan, kemiskinan, kematian. Ketiga hal tersebut seolah tak pernah lekang dari lingkaran hidup Heru, Kancil dan Sugeng. Kelam dan kejam. 

Kisah ini diangkat karena terinspirasi oleh film dokumenter Dongeng Kancil untuk Kemerdekaan yang menyorot kehidupan anak-anak jalanan Malioboro. Merangkul anak jalanan untuk ambil bagian dalam kisah yang menceritakan tentang mereka menjadikan Daun di Atas Bantal kian menarik. Film ini pun makin memikat dengan kehadiran aktris kawakan Indonesia, Christine Hakim. 

Dari sini masa remajaku yang baik-baik saja berubah menjadi sebuah kegelisahan. Rasa kemanusiaan dipertanyakan ketika hidup nyaman dan baik-baik saja itu ternyata berdampingan dengan kisah-kisah kelam dari mereka yang kurang mujur.

Kini ketika dari rahimku telah lahir tunas-tunas bangsa. Kegelisahan bukannya memudar. Justru kian bertambah. Negeriku terasa kian pelik. Kekerasan kian meraja lela. Aksi tipu tipu tak pandang usia. Korbannya pun bisa siapa saja. Tak hanya anak-anak jalanan yang menjadi target utama. Di rumah kita pun perlu waspada. Karena kekerasan, kejahatan bisa datang tanpa diduga. Bahkan pelakunya bisa saja dari mereka yang kita kenal baik. Jadi waspadalah.. waspadalah.. waspadalah... #KataBangNapi #intermezo

Sebagai penutup satu yang pasti dari tulisan ini adalah secara keseluruhan film ini bagus. Membuka mata kita tentang mereka yang terlupa oleh negara. Bila berkaca pada film ini maka satu saja pertanyaan yang terlontar untuk negeriku ini. Di dalam film ini di manakah peran negara ketika Heru, Kancil dan Sugeng membutuhkan sebuah perlindungan??? Atau mungkinkah sang sutradara lupa bila negara belum ambil bagian? Jadi dua dech pertanyaannya. Silakan dijawab bila ada yang berminat untuk menjawab dua soal sederhana tadi...:))) [*]






Related Posts

6 comments

  1. blm pernh nontoooonn, hiks
    tp jd pgn nnton, konfliknya oke punya
    tfs y mak
    moga menang amiiinn

    ReplyDelete
    Replies
    1. nonton mak.. salah satu film indonesia yg dpt penghargaan international dijamin bgs :)
      iy.. amin.. makasih ... :))

      Delete
  2. Ini review film yg kesekian yg saya baca mbak. Hmmm menarik. semoga menang GA-nya :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. iy, film ini memang bagus jadi banyak yg ngriview :)))

      amin.. makasih :)

      Delete
  3. waduhhh miris sekali kehidupan anak2 jalanan, segitu di kota gudeg, gimana di kota besar macam jekardah ya? makasih ya mak atas parstisiapsinya

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya mak, miris melihatnya...

      makasih juga yang punya hajat sudah mampir di mari :))

      Delete

Powered by Blogger.