Skip to main content

Antara Monas Dan Parkiran Gambir

Alunan musik rock berdentum-dentum memekakkan telinga. Air Conditioner mobil sejuta umat menyergap dingin. Membuat ujung-ujung kakiku mati menggigil. Tak jauh dari posisiku menunggu suami yang sedang menunaikan hajatnya, terdapat sebuah mushola. Pukul tiga sore, dari bangunan tempat kaum muslim biasa melaksanakan kewajibannya terdengar kalam-kalam Ilahi yang mulai dikumandangkan. Waktu Ashar hampir masuk. Aku masih meringkuk menahan dingin, gejala-gejala buang air kecil perlahan membayangi setiap gerak yang kubuat. Sementara tak ada tanda-tanda putri kecilku akan terbangun dari lelapnya. Di luar cuaca tampak panas. Beberapa penjaja makanan mewarnai area parkir Stasiun Gambir. Menyambangi gambir bukan untuk menjemput atau menghantar seseorang dari atau menuju sebuah tujuan. Hanya menemani pasangan melepaskan rasa penasaran. Terhadap game yang selalu memancing pertengkaran.

Area parkir ini tepat berbatasan dengan pagar Monumen Nasional yang berada di belakang posisi parkir mobil kami. Lahan yang dipergunakan untuk area parkir cukup luas, omset yang dihasilkan pun luar biasa menggiurkan. Berdasarkan artikel dari salah satu situs berita harian Indonesia terkemuka, pendapatan yang dapat dicetak dari lahan parkir Stasiun Gambir bisa mencapai 1,2 M hingga 1,3 M perbulan. Itu menurut mantan direktur PT. KAI yang kini menjabat sebagai Menteri Perhubungan RI. 

Lalu di belakangku terpampang Monumen Nasional yang menjulang tinggi ke angkasa. Mencakar-cakar lazuardi kota Jakarta. Pesonanya mampu menarik banyak mata. Tapi entah akan sampai kapan keanggunannya itu bisa terus kita nikmati. Karena seperti kebanyakan banguna-banguna bersejarah yang ada di Indonesia, selalu diwarnai kisah-kisah pilu yang mengiringi perjalananya. Beragam masalah pun acap kali terkesan dibiarkan tinimbang diselesaikan. 

Monas yang menjadi kebanggan warga kota Jakarta ini kerap melahirkan masalah yang selalu sama dari tahun ke tahun. Tapi hingga kini belum mampu terselesaikan dengan baik. Bukan tidak mungkin permasalahan klasik yang terus merongrong akan memudarkan atau bahkan menghilangkan daya tarik Monas itu sendiri. Bukankah memang akan seperti itu nasib kebanyakan bangunan-bangunan bersejarah, atau apa pun itu, bila tidak dikelola dengan baik dia akan mati dengan sendirinya. 

Untuk mengatasi permasalahan yang tidak pernah usai ini, Monas pun mengalami pembaharuan dalam pengelolaannya. Penggabungan dua Unit Pengelola (UP) yakni UP Taman Monas dan UP Tugu Monas menjadi UP Monas. Di bawah UP Monas diharapkan masalah-masalah lama dapat terselesaikan dengan baik dan benar. Sehingga landmark kota Jakarta dapat tertata dengan apik. Pedagang-pedagang kaki lima pun terkoordinasi dengan baik.  

Pendapatan Monas memang tidak bisa disejajarkan dengan pemasukan yang didapat oleh Badan Usaha Milik Negara seperti PT. KAI. Bahkan bila dibandingkan dengan omzet lahan parkir Stasiun Gambir pun akan jauh lebih kecil. Pendapatan retribusi Monas terhitung pada lebaran tahun lalu hanya mencapai Rp 232.677.000,- . Sayangnya hingga pembaharuan telah dilakukan pun pengelolaan kawasan Monas dirasakan masih  jauh dari kata memuaskan. Lain Monas, lain pula dengan Stasiun Gambir. Gambir pun tak lepas dari beragam keluhan-keluhan mengenainya. Salah satunya tarif parkir yang terlampau mahal. Begitulah, tidak ada sistem yang sempurna tanpa cela. Tapi perbaikan adalah penyeimbangnya. Untuk itu dibutuhkan mereka yang cukup perduli terhadap perubahan yang membawa kebaikan bagi semua.

Sungguh aku tidak berbuat adil bila aku memaksakan membandingkan antara Monas dan Stasiun Gambir. Mereka lahir dari dari ibu yang berbeda. Tapi bukankah antara pusat dan daerah harus bersinergi, berkerja beriringan, saling mendukung. Maka kedua hal yang berbeda tersebut bisalah mewakili apa yang dicita-ciitakan. Tapi itu pun tidak bisa dijadikan sebagai tolak ukur apakah antara pusat dan daerah telah terjadi kesinambungan dibanyak bidang.

Jangan terlalu menganggap serius uraian di atas. Tulisan ini hanya sisi-sisi yang terlihat ketika aku sedang menanti seseorang yang tengah sibuk dengan komunitasnya. Tulisan ini ada dari ide-ide tak jelas, tumpang tindih dan saling berebut menguasai alam pikir. Tulisan ini lahir ketika di antara mobil-mobil yang berderet itu, aku menangkap seorang bapak tua tangah duduk menunggui barang dagangannya. Terkadang satu dua orang menghampiri. Membeli barang dagangannya, berupa makanan-makanan instan yang tidak terlalu banyak jumlahnya. Demi menjemput rejeki yang dijanjikan. Rupiah demi rupiah dikumpulkan. Pohon rindang menjadi atap pelindung dari terik yang menyengat. Bila hujan, sudah pasti akan kebasahan.



Keberadaan bapak tua bagi sebagian orang tidak ada yang istimewa. Karena memang sudah begitu adanya. Dia hanya noktah kecil yang terapit diantara dua gedung dari dua intansi yang berbeda. Mengais rejeki sementara di depannya adalah salah satu gedung pencetak rupiah. Tidak hanya itu, bapak tua pun harus bersaing dengan warung makan siap saji yang ada di dalamnya. Jadi jangan harap para pemilik mobil-mobil mewah berminat menawar barang dagangannya. Pembeli yang cocok adalah mereka yang tidak mampu untuk membeli makanan yang disajikan restoran-restoran mewah. Bahkan untuk mengeluarkan rupiah pun harus berpikir berulang-ulang. Huft inilah hidup, inilah kota Jakarta. Ketimpang-ketimpangan akan mudah kita jumpai dibanyak sudut kehidupan. Tanpa sadar kita telah terbiasa melihat kepincangan-kepincangan yang kerap terjadi di sekitar kita. Hanya kesadaran yang mampu melihat itu semua.

***

Pukul empat sore lebih lima belas menit. Kakiku mulai keju. Tubuhku sudah tak bisa berkompromi dengan dingin yang menguar dari Air Condioner mobil. Kawan tidurku belum juga kembali. Sikecil masih terlelap. Panggilan sholat sudah lama berlalu. Segera kukecup kening si kecil. Perlahan si kecil membuka mata indahnya. Kurengkuh tubuh mungilnya, lalu kubisikkan padanya "Ibu mau sholat" seraya membatin semoga Tuhan dan para malaikat tidak marah akan keterlambatanku. Kulangkahkan kaki menuju mushola yang mulai sepi. Lalu kulirik bapak tua di depan sana. Kembali aku membatin, Tuhan beri kami kemudahan atas semua ketetapan-Mu pada kami. Semoga doaku diijabah oleh Nya. Dan Tuhan sedang tidak marah,




Diolah dari berbagai sumber :
-http://www.republika.co.id/berita/nasional/jabodetabek-nasional/14/06/26/n7rycy-ahok-sebut-banyak-persoalan-di-monas
-http://m.liputan6.com/bisnis/read/2066652/omzet-parkiran-stasiun-gambir-rp-13-miliar-per-bulan
-http://beritajakarta.com/read/4134/Unit_Pengelola_Monas_Resmi_Digabung#.VNcKOPmUeX0
-https://www.youtube.com/watch?v=FmJY7dH4TQM


Comments

  1. Bila aku ke JKT naik kereta biasanya nyambung bus DAMRI turunnya di Gambir.. Setelah utu menumpang bajaj minta diantarkan ke daerah Salemba tempat kami menginap.. Pemandangan spt yg Mbak uraiksn dlm tulisan di atas sering kujumpai saat aku melintas di srputaran Monas dan Gambir.. Byk ketimpangan sosial yg terjadi di sana.. Kita hny bisa berharap agar peran pemerintah lbh maksimal dlm menangani hal itu..semoga saja ya Makk..

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya mak.. karena itulah tugas pemerintah.. bukankah fakir miskin dan anak2 terlantar sudah seharusnya tanggung jawab pemerintah... itukan esensi dari pasl 34 ayat 1 uud 45... pasal tsb masih berlakukan? :)

      Delete
  2. Tidak dapat dipungkiri memang kalau di jakarta yang kota metropolis banyak ketimpangan sosial di balik gemerlapnya ibu kota. Kita sama-sama berharap semoga pemerintah pelan-pelan dapat mengatasinya. Salam kenal http://www.kulinerwisata.com

    ReplyDelete
    Replies
    1. semoga... salam kenal juga... langsung meluncur ke http://www.kulinerwisata.com ...

      Delete
  3. 4 x ke Jakarta, belum kesampaian lihat monas. Aduh duh....
    memang benar mbak, dimana ada kemewahan, sesuatu yang menjadi landmark, atau semacamnya, selalu ada noktah (enhat diperhatikan atau tidak). Dan itu nyata. karena semua itu seperti magnet bagi semua orang.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Klo gitu musti mampir ke monas nich mbak... ntar klo ada kesempatan ke Jkt lagi, usahakan mampir dulu, liat gimana kondisi Monas dari dalam dan amati bagaimana rupa kota Jakarta dari puncak Monas mak ..

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Obat TB Gratis, Berobat Yuk

Ketakutan itu masih sering menghantui hari-hariku. Selama Tuberkulosis masih menjadi momok bagi dunia kesehatan, sepertinya susah untuk pura-pura mengatakan aku  rapopo  . Kemudahan penularan dari penyakit akibat kuman Mycobacteriun Tuberculosis salah satu sebabnya.  Beberapa hari yang lalu, bayang-bayang ketakutan itu kembali menghantuiku. Sebut saja mama Riska, beliau adalah pekerja paruh waktu di rumahku. Karena kondisi kesehatan yang menurun, beliau memutuskan untuk mengambil cuti kerja selama dua hari. Terdengar suaranya yang lemah dan batuk-batuk kecil yang menyertainya, menggiring pikiranku pada satu kesimpulan tentang penyakit yang diderita mama Riska. Tuberkulosis, begitulah pikirku saat itu. Sungguh aku terlalu cepat memutuskan mama Riska terjangkiti kuman Mycobakterium Tuberkulosis . Hal ini semakin memperjelas betapa paranoidnya aku. Pengetahuan yang cukup tidak membuat rasa khawatirku berkurang, justru aku semakin waspada terhadap penyakit satu ini. ...

House For Sale

Beberapa waktu yang lalu saya membaca sebuah kisah singkat karya A.S. Laksana. Karyanya dimuat di salah satu surat kabar harian nasional yang terbit dari Surabaya. Dengan tajuk Dijual : Rumah Dua Lantai Beserta Kenangan di Dalamnya, bercerita tentang sepasang suami isteri yang sedang berada di ambang batas perceraian. Masalah-masalah yang sekiranya dianggap sepele oleh salah satu dari pasangan di dalam cerita ternyata bagi yang lain itu menjadi timbunan-timbunan konflik berkepanjangan. Dan pada akhirnya memaksa keduanya untuk segera mengambil keputusan yang tidak mudah. Mungkin seperti itulah yang bisa saya tangkap dari cerita pendek karya saudara A.S Laksana. Tapi tulisan ini tidak ingin membahas tentang cerpen A.S. Lakasana. Membaca cerpen ini seketika mengusik memori saya yang sudah lama terpendam. Ini menyangkut judul lagu yang diangkat oleh cerpenis. Membawa benak saya pada sebuah rumah yang entah seperti apa kini wujudnya. Rumah dalam kenangan saya tidak sama dengan ruma...

Monetisasi Blog Meningkatkan atau Menurunkan Gairah Menulis

Google benarkah ini?? source pic : google Malam ini tidurku tak nyaman. Gerakan-gerakan tak nyenyak si kecillah yang membuatku membuka mata berulang kali. Tubuhku penat. Lelap pun tak kudapat. Kantukku belum usai namun azan subuh telah berkumandang.  Sedikit malas kuberanjak dari tidurku. Tampak tuan-tuan putri masih terbuai mimpi. Kualihkan pandanganku ke gadget  usangku. Seperti biasa jari-jariku menari diantara aplikasi yang terinstal. Kotak suler menjadi akhir lompatanku. Berharap hari ini ada kabar baik yang akan kuterima. Tak perlu menunggu lama, kotak surat elektronikku pun terbuka. Tatapanku pun segera terpaku pada bagian teratas list inbok  ku. Terbersit harap yang selama ini kudambakan namun segera kuenyahkan. Tak mungkin, pikirku. Namun. Google pun Memberi Jawab source pic : google Selamat!! Sampai pada tahap ini saja mukaku sudah merona. Teringat penolakan-penolakan yang kuterima. Dan pengajuan permohonan Google AdSense (GA) ku yang tanpa ...